Thursday, July 17, 2014

Pengorbanan dan Usaha dibutuhkan Saat Hidup Mulai Tidak Pasti

Banyak yang terjadi setelah tulisan terakhirku tentang mentari yang tak kunjung bersinar. Ternyata tulisan terakhirku sebelum ini adalah 19 hari sebelum Mami pergi untuk selamanya.

Tidak sedikit yang mau kuceritakan di sini, kelanjutan kehidupanku yang berubah, pindah rumah, hubunganku dengan pacarku (yang semakin baik, aku senang sekali), sahabat-sahabatku, Papi, Cece, dan lainnya.

Kuceritakan yang paling utama dan merupakan titik terendah seumur hidupku. Ini tentang kepergian Mami.

Kira-kira ada sekitar 3 bulan lebih aku bertahan dengan keadaan terdesak dan ketidakpastian. Aku ingin terus melanjutkan kuliahku dengan segala aktifitas kepanitiaan yang kusenangi. Tapi Cece mengusulkan agar aku cuti kuliah. Di kampusku, cuti kuliah minimal 1 tahun, dan  itu berarti aku akan tertinggal dari teman-temanku dan lingkungan yang sudah kusukai. Cece tentu cukup bijak dengan usul itu karena tidak ada orang yang dapat diandalkan untuk mengurus Mami yang ternyata kankernya mulai kembali. Papi di luar kota. Cece harus tetap bekerja karena segala kebutuhan berpasak di sana. Suster atau pembantu terlalu mahal untuk kondisi seperti ini. Aku pikir sangat sayang mengorbankan 1 tahun, aku merasa masih sanggup melakukan kuliah dan mengurus Mami di saat bersamaan meski kuliahku cukup sulit dan jarak kampus ke rumah yang cukup jauh.

Ya, dalam sekitar 3 bulan lebih itu aku berjuang, aku merasa cukup terkuras di masa itu. Selama itu pun aku hampir selalu terlambat menghadiri kelas maupun ujian karena aku lebih memilih untuk memberikan waktu kepada Mami. Semua selalu kulakukan terburu-buru seperti tugas, belajar, perjalanan. Begitu usai kelas jika bisa aku langsung pulang, tidak bersantai bersama teman lagi. Ongkos perjalanan jadi lebih mahal karena aku memilih ojeg-kereta-ojeg daripada angkot-kereta-angkot seperti biasanya. Di kelas aku menjadi sering tertidur karena kelelahan. Bila bisa bolos, aku akan bolos untuk menemani Mami di rumah. Lalu aku titip absen kepada teman, pinjam dan menyalin catatan tanpa begitu memahami isinya.

Ada satu mata kuliah berupa laboratorium yang hukumnya wajib hadir 100%. Sebelumnya, aku tidak pernah menggubris keberadaan peraturan itu. Namun setelah kejadian ini aku menjadi tidak menyukai peraturan tersebut. Tahu tidak, betapa sulitnya meminta izin kepada seorang dosen untuk tidak mengikuti laboratorium karena kondisi Mami yang naik turun dan perlu dijaga. Aku dihadapkan pada pilihan dan kondisi yang sulit, meninggalkan Mami yang kondisinya tidak dapat diprediksi atau mengulang kembali laboratorium selama 6 bulan di tahun depan. Ya, itu saja pilihannya. Aku kesal, apakah peraturan laboratorium berhak menomorduakan nyawa seseorang? Bagaimana mungkin aku membiarkan Mami yang kondisinya tidak pasti untuk berada di rumah sendirian? Apakah dosen tersebut sedang tidak menggunakan hatinya? Aku bernegosiasi cukup lama dengan dosen itu, memohon dan memohon saja bagai orang tak berdaya. Mungkin dia pikir aku bermain-main. Yang benar saja! Aku tidak segila itu.

Akhirnya aku memenangkan negosiasi alot itu. Ya, terima kasih kepada Mami karena bakat negosiasinya menurun kepadaku. Tidak hanya negosiasi itu dan dengan dosen itu saja. Ada satu kejadian saat aku terpaksa tidak ikut ujian mata kuliah laboratorium itu juga karena kondisi Mami yang tiba-tiba kritis. Rasanya aku tidak ingin mengikuti semua ujian semester itu. Aku tidak bisa belajar, pikiranku terganggu dan ragaku tidak bisa menurut. Tapi aku masih berusaha menyelesaikan semester itu. Aku tetap berusaha berkonsentrasi belajar untuk ujian di hari-hari berikutnya tanpa menyadari bahwa ujian susulan harus dilakukan maksimal 3 hari setelah ujian sebenarnya. Akhirnya aku harus bernegosiasi kembali dengan dosen. Dosen yang ini berbeda dengan dosen sebelumnya. Dosen yang ini cukup pengertian dan cerdik. Ya, dia juga mengira aku main-main karena tidak menyadari peraturan-maksimal-3-hari tersebut. Dia berkata tidak akan memberi aku ujian susulan karena aku tidak menaati peraturan dan seolah aku seperti berbuat seenaknya. Aku tentu tidak menerima penilaian tersebut, aku berani menegaskan padanya bahwa aku tidak menerima penilaiannya terhadap diriku. Lalu ia meminta bukti berupa surat dokter bahwa Mami masuk rumah sakit. Setelah kuberikan barulah ia percaya dan menyetujui untuk memberikan ujian susulanku.

Ujian susulan itu dijanjikan jauh setelah rangkaian ujian selesai karena sang dosen tidak ada di tempat dan karena satu atau beberapa hal lainnya. Bagaimana dengan rangkaian ujian yang kulalui? Yah, seoptimal mungkin, semampu dan semaksimal yang dapat kuusahakan. Masih dengan keadaan yang sama, bolak-balik rumah sakit-kampus, tidur di rumah sendiri atau di rumah sakit, terlambat menghadiri ujian, belajar di rumah sakit sambil menjaga Mami, dan lain sebagainya.

Satu hal yang paling-tidak-pernah-kusesali adalah saat aku rela menyempatkan diri sesempat mungkin dari rumah lalu pergi melihat Mami di rumah sakit (arah rumah sakit dan kampusku berlawanan dan rumah sakit itu cukup jauh untuk diriku yang berkendaraan umum) meski hanya sebentar, yang penting aku bisa melihat senyum Mami saat aku datang, menanyakan kabarnya sebentar, mengurusinya sebentar. Setelah itu baru aku ke kampus, kembali ke arah rumah, untuk ke stasiun naik kereta. Begitu usai segala kelas, aku segera pulang dan ke rumah sakit melihat Mami lagi. Bila ada tugas yang sangat penting aku terpaksa pulang ke rumah larut setelah melihat Mami untuk mengerjakannya di rumah. Bila tidak ada, aku akan tidur di rumah sakit dan bersiap berangkat ke kampus dari rumah sakit untuk keesokan harinya. Meski Mami menyuruhku pulang saja agar aku tidak kelelahan, aku tidak mau dengar. Yang terpenting aku bisa menghabiskan waktuku di sisi Mami. Aku merasa itu penting karena aku tidak tahu kapan keadaan tidak seperti ini lagi. Aku ingin ada saat hanya aku yang dapat diharapkannya.

Begitulah seterusnya selama sekitar 3 bulan lebih, rutinitasku berubah mendadak, aku tidak terlalu mengurus diriku sendiri seperti wanita biasa mengurus dirinya. Aku menjadi sangat pelit terhadap waktu jika bukan untuk Mami.