Tidak sedikit yang mau kuceritakan di sini, kelanjutan kehidupanku yang berubah, pindah rumah, hubunganku dengan pacarku (yang semakin baik, aku senang sekali), sahabat-sahabatku, Papi, Cece, dan lainnya.
Kuceritakan yang paling utama dan merupakan titik terendah seumur hidupku. Ini tentang kepergian Mami.
Kira-kira ada sekitar 3 bulan
lebih aku bertahan dengan keadaan terdesak dan ketidakpastian. Aku ingin terus
melanjutkan kuliahku dengan segala aktifitas kepanitiaan yang kusenangi. Tapi
Cece mengusulkan agar aku cuti kuliah. Di kampusku, cuti kuliah minimal 1
tahun, dan itu berarti aku akan
tertinggal dari teman-temanku dan lingkungan yang sudah kusukai. Cece tentu
cukup bijak dengan usul itu karena tidak ada orang yang dapat diandalkan untuk
mengurus Mami yang ternyata kankernya mulai kembali. Papi di luar kota. Cece
harus tetap bekerja karena segala kebutuhan berpasak di sana. Suster atau
pembantu terlalu mahal untuk kondisi seperti ini. Aku pikir sangat sayang
mengorbankan 1 tahun, aku merasa masih sanggup melakukan kuliah dan mengurus
Mami di saat bersamaan meski kuliahku cukup sulit dan jarak kampus ke rumah
yang cukup jauh.
Ya, dalam sekitar 3 bulan lebih
itu aku berjuang, aku merasa cukup terkuras di masa itu. Selama itu pun aku
hampir selalu terlambat menghadiri kelas maupun ujian karena aku lebih memilih
untuk memberikan waktu kepada Mami. Semua selalu kulakukan terburu-buru seperti
tugas, belajar, perjalanan. Begitu usai kelas jika bisa aku langsung pulang,
tidak bersantai bersama teman lagi. Ongkos perjalanan jadi lebih mahal karena
aku memilih ojeg-kereta-ojeg daripada angkot-kereta-angkot seperti biasanya. Di
kelas aku menjadi sering tertidur karena kelelahan. Bila bisa bolos, aku akan
bolos untuk menemani Mami di rumah. Lalu aku titip absen kepada teman, pinjam
dan menyalin catatan tanpa begitu memahami isinya.
Ada satu mata kuliah berupa
laboratorium yang hukumnya wajib hadir 100%. Sebelumnya, aku tidak pernah
menggubris keberadaan peraturan itu. Namun setelah kejadian ini aku
menjadi tidak menyukai peraturan tersebut. Tahu
tidak, betapa sulitnya meminta izin kepada seorang dosen untuk tidak mengikuti
laboratorium karena kondisi Mami yang naik turun dan perlu dijaga. Aku dihadapkan pada pilihan dan kondisi yang sulit, meninggalkan Mami yang kondisinya tidak dapat diprediksi
atau mengulang kembali laboratorium selama 6 bulan di tahun depan. Ya, itu saja
pilihannya. Aku kesal, apakah peraturan laboratorium berhak menomorduakan nyawa
seseorang? Bagaimana mungkin aku membiarkan Mami yang kondisinya tidak pasti
untuk berada di rumah sendirian? Apakah dosen tersebut sedang tidak menggunakan hatinya? Aku bernegosiasi cukup lama dengan dosen itu, memohon dan memohon saja
bagai orang tak berdaya. Mungkin dia pikir aku bermain-main. Yang benar saja!
Aku tidak segila itu.
Akhirnya aku memenangkan
negosiasi alot itu. Ya, terima kasih kepada Mami karena bakat negosiasinya
menurun kepadaku. Tidak hanya negosiasi itu dan dengan dosen itu saja. Ada satu
kejadian saat aku terpaksa tidak ikut ujian mata kuliah laboratorium itu juga
karena kondisi Mami yang tiba-tiba kritis. Rasanya aku tidak ingin mengikuti
semua ujian semester itu. Aku tidak bisa belajar, pikiranku terganggu dan
ragaku tidak bisa menurut. Tapi aku masih berusaha menyelesaikan semester itu.
Aku tetap berusaha berkonsentrasi belajar untuk ujian di hari-hari berikutnya
tanpa menyadari bahwa ujian susulan harus dilakukan maksimal 3 hari setelah
ujian sebenarnya. Akhirnya aku harus bernegosiasi kembali dengan dosen. Dosen
yang ini berbeda dengan dosen sebelumnya. Dosen yang ini cukup pengertian dan cerdik.
Ya, dia juga mengira aku main-main karena tidak menyadari peraturan-maksimal-3-hari
tersebut. Dia berkata tidak akan memberi aku ujian susulan karena aku tidak menaati
peraturan dan seolah aku seperti berbuat seenaknya. Aku tentu tidak menerima
penilaian tersebut, aku berani menegaskan padanya bahwa aku tidak menerima
penilaiannya terhadap diriku. Lalu ia meminta bukti berupa surat dokter
bahwa Mami masuk rumah sakit. Setelah kuberikan barulah ia percaya dan
menyetujui untuk memberikan ujian susulanku.
Ujian susulan itu dijanjikan jauh
setelah rangkaian ujian selesai karena sang dosen tidak ada di tempat dan
karena satu atau beberapa hal lainnya. Bagaimana dengan rangkaian ujian yang
kulalui? Yah, seoptimal mungkin, semampu dan semaksimal yang dapat kuusahakan.
Masih dengan keadaan yang sama, bolak-balik rumah sakit-kampus, tidur di rumah
sendiri atau di rumah sakit, terlambat menghadiri ujian, belajar di rumah sakit
sambil menjaga Mami, dan lain sebagainya.
Satu hal yang
paling-tidak-pernah-kusesali adalah saat aku rela menyempatkan diri sesempat
mungkin dari rumah lalu pergi melihat Mami di rumah sakit (arah rumah sakit dan
kampusku berlawanan dan rumah sakit itu cukup jauh untuk diriku yang
berkendaraan umum) meski hanya sebentar, yang penting aku bisa melihat senyum
Mami saat aku datang, menanyakan kabarnya sebentar, mengurusinya sebentar.
Setelah itu baru aku ke kampus, kembali ke arah rumah, untuk ke stasiun naik
kereta. Begitu usai segala kelas, aku segera pulang dan ke rumah sakit melihat
Mami lagi. Bila ada tugas yang sangat penting aku terpaksa pulang ke rumah
larut setelah melihat Mami untuk mengerjakannya di rumah. Bila tidak ada, aku
akan tidur di rumah sakit dan bersiap berangkat ke kampus dari rumah sakit
untuk keesokan harinya. Meski Mami menyuruhku pulang saja agar aku tidak
kelelahan, aku tidak mau dengar. Yang terpenting aku bisa menghabiskan waktuku
di sisi Mami. Aku merasa itu penting karena aku tidak tahu kapan keadaan tidak
seperti ini lagi. Aku ingin ada saat hanya aku yang dapat diharapkannya.
Begitulah seterusnya selama
sekitar 3 bulan lebih, rutinitasku berubah mendadak, aku tidak terlalu mengurus
diriku sendiri seperti wanita biasa mengurus dirinya. Aku menjadi sangat pelit
terhadap waktu jika bukan untuk Mami.
No comments:
Post a Comment