Monday, May 11, 2020

Nobody Genuinely Loves Me

Halo, kembali lagi dengan saya yang selalu haus akan kasih sayang. Kasihan, ya. Aku menulis ini cuma sebagai pelampiasan aku saja, berharap suatu saat ada yang baca ini dan kuharap pembaca mengerti perasaan aku.

Menurutku dunia ini begitu menyedihkan. Sungguh, tumbuh di keluarga yang broken home membuat jiwaku tidak sehat. Aku yang usianya hampir seperempat abad ini masih sering menangis sendirian di kamar, berharap ada yang memeluk aku, menepuk-nepuk punggungku, menghiburku, menyemangati aku. Aku sampai di titik di mana aku agak kesulitan untuk menghibur diriku sendiri. Aku sungguh-sungguh hanya bisa bersedekap, membelai diriku sendiri, memeluk guling di ujung tembok. Tadinya aku hampir memukulkan kepalaku ke tembok (karena kupikir aku bodoh, maklum habis dimarahi karena bodoh), tapi aku merasa kasihan dengan kepalaku, ia sudah bekerja terlalu keras, ia tidak bersalah, aku harus menyayangi diriku sendiri, karena tidak ada lagi yang menyayangiku selain diriku sendiri. Semua senyuman dan kegembiraan yang terlihat di luar hanya topeng belaka, sebab untuk apa selalu menunjukkan kesedihan dan kesendirianku bukan? Toh, tidak ada yang peduli.

Mungkin aku memiliki trauma masa lalu, aku tidak tahu, tapi mungkin aku tahu. Aku tidak bisa mengharapkan kasih sayang dari siapapun. Tidak ayahku, dia tempramental, bertanya petunjuk arah saja dijawab dengan nada tinggi. - Dia hanya mempertanyakan kapan aku akan menikah, kapan dia akan menimang cucu. Ya, Tuhan, aku tidak tahu! - Tidak ibuku, dia sudah tiada, ya Tuhan sedih sekali, aku menangis kembali. Tidak kakakku, dia saja pergi meninggalkan aku di saat aku terpuruk semasa sekolah dan kuliah. Aku merasa tidak memiliki keluarga, tidak punya siapa-siapa. Kakek nenek sudah lama meninggal, aku tidak mengenal mereka. Om tante tinggal jauh dan sama sekali tidak ada kedekatan emosional denganku. Tidak juga sepupu, mereka semua sudah memiliki anak yang hampir seusia denganku. Semua ini terjadi karena aku lahir saat ayah dan ibu berusia 43 tahun. Dengan demikian aku menjadi yang jauh lebih muda di antara semua saudara sepantaran.

Mungkin tidak juga mengharapkan kasih sayang dari sahabat-sahabatku, mereka masing-masing sudah memiliki kesibukan dan zona keluarga yang nyaman serta bahagia. Mereka lebih nyaman untuk berkumpul bersama keluarga masing-masing daripada berkumpul bersamaku. Betapa beruntungnya mereka memiliki keluarga yang ramai dan hangat.

Satu yang mengejutkan, mungkin, sepertinya aku tidak dapat mengharapkan kasih sayang dari pacarku. Sepertinya dia juga tempramental. Apakah karena dia ada riwayat hipertensi? (Tapi aku pernah membaca tidak semua orang hipertensi menjadi tempramental, tergantung dari kecerdasan dalam pengelolaan emosi pribadi itu sendiri.) Belakangan ini aku banyak menangis karena sumber pengharapanku akan cinta kasih ini tidak seperti yang kuharapkan. Aku berharap komunikasi yang lancar setiap saat, penuh kasih, tekun, dan sabar. Tapi dia tidak begitu sabar terhadapku. Katanya kasih itu sabar. Aku jadi tidak yakin apakah dia benar-benar mengasihiku. Dia sendiri berkata bahwa kunci dari hubungan adalah komunikasi, tapi dia sendiri memutuskan untuk menunda komunikasi itu sendiri atau bahkan mengacaukan komunikasi itu dengan menghambat atau bertindak tidak sabar. Apakah ada yang salah dengan komunikasi via telepon? Mengapa harus menunda percakapan jika bisa dilakukan dengan telepon yang sudah canggih di era digital ini? Mengapa meluangkan waktu untuk menelponku begitu sulit? Apakah dia membenci suaraku? Mengapa meluangkan waktu untuk pesan singkat intensif juga sulit? Apakah aku tidak berharga atas waktumu? Di jaman komunikasi yang mudah ini mengapa dipersulit? Kalau dirunut permasalahan ku dengan dia sedari dulu selalu saja berkutat di komunikasi. Oh, sungguh ini berbahaya. Kunci mulai hilang, pintu menjadi sulit dibuka.

Dia tahu aku senang jika ditelepon olehnya. Tapi dia jarang melakukan itu. Ya, Tuhan, aku tidak minta macam-macam, hanya ditelepon saja aku sudah senang, karena aku bisa mengobrol dan membicarakan hariku padanya. Apakah begitu sulit untuk menelponku? Pernah suatu saat dia tiba-tiba menelponku di tengah hariku yang cukup suntuk, aku sungguh senang. Tapi ternyata dia menelpon hanya untuk koordinasi metode pembayaran promo. Setelah selesai, dia langsung mengakhiri telepon. Yah, sedih sekali ya. Aku kecewa karena berharap telepon yang menyenangkan darinya. Apakah aku salah mengharapkan itu? Apakah aku tidak boleh berharap agar aku tidak kecewa? Tapi apakah arti cinta tanpa harapan di dalamnya? Tidak ada harapan maka tidak ada cinta. Itu adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Apakah mungkin kau mengharapkan telepon dari orang yang tidak kau cintai? Tentu tidak, kan. Atau..haruskah aku mengharapkan telepon dari pria lain?

Hari ini dia menelponku karena ada keperluan untuk membicarakan tentang suatu ilmu keuangan. Aku senang dia memulai inisiatif untuk menelpon ini. Rasanya tidak mungkin jika aku yang terus menerus menelponnya, aku seperti pengganggu saja jika selalu aku yang menelponnya. Sebagai perempuan tentu sudah secara alami senang didekati, bukan sebagai pihak yang mendekati. Oh, kembali ke telepon hari ini, kukira telepon hari ini akan memperbaiki beberapa hal yang kemarin terjadi (kemarin kami juga bertengkar karena masalah komunikasi). Dia menjelaskan kepadaku tentang ilmu keuangan tersebut, agak berjarak antara informasi satu dengan lainnya, sehingga banyak pertanyaan yang kuajukan, yang membuat dia menjadi agak gusar. Di akhir telepon dia seperti agak jengkel, karena ada pertanyaan yang kuulang, padahal aku sudah mengerti, hanya saja banyak bertanya. Aku menjadi sedih, apakah aku sebodoh itu? (Ini yang membuat aku ingin memukulkan kepalaku ke tembok tadi.) Mengapa tidak ada kasih sama sekali dalam proses dia menjelaskan ilmu keuangan tersebut? Apakah dia benar-benar mengasihiku? Sungguh aku takut jika aku menikahi orang yang salah dalam kehidupan agama katolik ini. Bagaimana nanti jika dia harus mengajari sang buah hati? Apakah akan seperti itu juga, marah-marah? Aku takut.

Sesaat kemudian setelah menutup telepon, tangisku pecah. Mungkin sekitar 5-10 menit aku menangis sesenggukan, meringkuk di kasur. Semua memori burukku muncul kembali. Harapanku - bahwa ada orang yang mencintaiku dengan tulus - jatuh ke dasar jurang. Aku seperti dihempaskan. Orang yang kukasihi dan kuharapkan ternyata tidak begitu mengasihiku. Kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan kasih? Aku tidak tahu. Mengapa kehidupan ini penuh kesendirian?

Monday, February 10, 2020

My Loneliness


Halo, sepertinya sudah sangat lama ya aku tidak menulismu.

Maafkan aku karena kali ini aku tidak tahan untuk menuliskan kenegatifanku. Aku sendiri tidak sanggup untuk terus bertahan positif.

Singkat saja karena aku membuat tulisan ini saat menjelang tidur di hari Minggu malam, yang mana besok adalah hari kerja.

Hari ini aku sangat uring-uringan. Aku mau semua yang aku inginkan benar-benar berjalan baik hari ini. Tapi rasanya tidak semuanya berjalan baik lalu aku pun menjadi uring-uringan. Terkadang aku merasa diriku masih sangat kekanak-kanakan karena terlalu banyak maunya dan sangat ingin diperhatikan.

Jika aku membandingkan diriku dengan orang-orang sekitarku, rasanya mereka tidak terlalu cerewet, tidak terlalu bergantung dengan orang lain, tidak terlalu ekspresif atau mengungkapkan segala perasaannya. Tapi hal ini tidak berlaku bagiku. Kadang aku berpikir mungkin aku terlalu sendiri sehingga aku membutuhkan perhatian dari orang lain.

Ya, satu hal yang hingga kini menjadi masalah bagiku, yaitu kesendirianku.

Maksudnya bukan sendiri karena jomblo, memang saat ini aku sudah mempunyai pacar yang sangat kusayangi, kami telah bersama selama lima tahun lebih. Namun yang kurasakan saat ini adalah aku seperti terlalu bergantung pada dirinya. Baiklah, Ibuku sudah tiada, aku tidak bisa lagi bergantung pada dirinya. Oh betapa aku mencintainya, dia begitu memperhatikanku, memberiku makan enak, memperhatikan segala kebutuhanku. Sekarang dia telah tiada, tersisa ayah dan kakak perempuanku. Oh yang benar saja. Dengan ayah, ia seperti cuek, makanan sangat tidak bervariasi, benar-benar berbeda. Saat aku sakit dahulu ibuku mengurusiku dengan sangat baik. Kini saat aku sakit, ayah bahkan tidak tahu. Jika tahu pun tidak dapat mengurusiku dengan sangat baik.

Bagaimana dengan kakak perempuanku? Tidak usah ditanyakan. Seperti biasa dia asik dengan dunianya sendiri. Dia sepertinya sudah bahagia dengan teman-temannya yang dia sering sebut sebagai ‘keluarga’ nya. Aku merasa dia seperti sudah melupakanku. Meskipun satu kota yaitu Jakarta, bertemu sangatlah jarang, terakhir kami bertemu adalah enam bulan yang lalu. Aku merasa seperti tidak memiliki kakak perempuan. Tidak banyak hal yang dapat kami bicarakan via chat whatsapp seperti banyak hubungan orang lain. Bahkan jika aku ingin menitipkan suatu hal, dia jarang ingin membelikan. Dia selalu sibuk keluar kota. Bahkan retret yang kusarankan agar dia ikuti, sampai sekarang tidak pernah dia ikuti. Padahal aku merasa itu penting karena aku ingin membantu dia sembuh dari lukanya terhadap sang ayah.

Kembali ke diriku, yah aku yang egois, haus akan perhatian, dan cinta kasih. Bagaimana tidak kesepian, aku tidak mengerti apa itu arti keluarga! Keluargaku seperti ini. Aku ingin diperhatikan. Tapi mereka seolah tiada. Saat yang lain sibuk dengan keluarganya masing-masing, aku harus sibuk dengan siapa? Jika aku mencari teman-temanku, mereka juga sibuk dengan keluarganya masing-masing. Tidak ada yang seperti aku karena mereka memiliki keluarga yang hangat dan saling memperhatikan satu sama lain.

Baiklah sekian untuk tulisan kali ini karena sekarang sudah pukul 00.06. Aku harus tidur. Terima kasih telah membaca. Dengan segala keegoisan dan kehausan cinta kasih ku, ku harap para pembaca mampu memahami perasaanku dari tulisan ini. Sekali lagi terima kasih.

Saturday, February 7, 2015

The Rest of Your Life is Not More Than A Half of A4 Paper

Look, this A4 paper is your whole life, 24 hours times 70 years.
24 hours is the time you get everyday for free.
70 years is an approximately age that you might have.



Now tear away the past time, the one which you can't do anything to change.
I have lived for 20 years. So I tear the part from 0 to 20.
It will become like this. Yours might be different.



Of course you need time to sleep.You have to tear another part away.
I sleep about 7 hours everyday from 22.00 to 06.00. So I tear these 2 green boxes below.
Remember to always have enough time to sleep and healthy lifestyle or your 70 years may be shorter.



Finally, you will have the clear real space of the rest of your time in life to make things. It will be the white square. Cut your precious white square. Compare it to the first paper you have for your whole life.



See, your paper on the right side is even more smaller than you've ever thought.
It's not more than a half of A4 paper.




This pictures you how much time you have for the rest of your life. It is not much.

Now is the time for you to decide who you want to be, what kind of person you want people to see in you?
The time left for you to pursue your dreams is so little.
All you have to do is just do, do , and keep doing.
Just talk less and do more. This is what people mean when they say, "Life is too short."

"Life is too short for complaining, arguing, or even pretending.
Just enjoy and cherish every moment and things you get.
Always believe that each thing has a bright side. And so are you."


Ps. Thanks a lot to my beloved sister. She taught me this when I was down. What a precious lesson.

Saturday, December 27, 2014

Love Is About Letting Go

When you love someone, you tend to have him/her by your side to spend time together and keep caring each other. Having a joyful moment with people you love becomes an important thing. You do not want to lose them at all.

There is a saying, "Love is about letting go." I did not believe it. How can you love someone when you do not have them around you? It seems like that nature tries to teach me about that. I passed through hard times to understand and to feel the meaning of that saying.

When I was not letting go, I watched Mom cried in pain. She suffered a lot and that made me sad. I wanted it to stop so Mom would not suffer at all. Begging God for miracles was no longer possible. Then I changed my prayer. I told God to end her suffer. But that means I had to let her go because there was nothing left to do to heal her. It took time. Quite a long time till I told God that I let her go. No longer than that, she passed away. Hearing that gave me pain. I cried for losing her. But I was also relieved cause God heared me, she left the pain and she would not suffer anymore. It has finished. She is happy now. I finally let her go because I love her, I want her to be happy up there.

Another kind of letting go is when I saw my Dad feels happy and complete. He has worked too hard and he needs someone to take care of him. It was sad to see him live in a loneliness. He found someone but it was hard for me to see that she would replace Mom. Later I realized that Dad seemed to be so happy being with her. I was also happy seeing that. There would be someone to take care of him, to cook, and to give him love there. It was so nice to see him happy like that because I love him. So I let him go with her.

Now, what have you learned about letting go? Have you ever let go someone you love? It sure will cost pain but the pain will go as you see the one you love feels happy.

If you truly love someone, you will do anything just to see them happy, even letting go.

Sunday, November 23, 2014

Always Love Somebody as There is No Tomorrow


Terakhir kali aku bergalau saat Mendiang Mamiku berulangtahun tepat 6 bulan setelah kepergiannya. Kali ini aku kembali bergalau setelah kehilangan dirimu. Hmm, mungkin salah, lebih tepat bila kukatakan setelah aku memutuskan untuk melepaskan dirimu.

Ya, dirimu yang telah menemaniku sekitar 2 tahun lebih, terhitung dari kita mulai dekat. Kamu telah menemaniku melalui beragam peristiwa dalam hidupku. Senang dan sedih kubagi bersama dirimu. Kamu yang paling mengenal diriku selama beberapa tahun terakhir ini. Tidak Papi, tidak juga Cece, tidak juga teman-teman baikku. Mereka semua jauh, sibuk dengan urusannya masing-masing. Yang dikata orang akhir minggu adalah hari keluarga, bagiku akhir minggu adalah hari sendiri. Kamu terkadang bepergian bersama keluargamu, memiliki acara sendiri. Tapi sempat beberapa kali kamu mengajakku bergabung. Aku senang, aku merasakan hangatnya keluarga bersama dengan orang-orang tercintamu. Mereka menerima diriku dan mereka membuatku nyaman dan bahagia. Terima kasih kamu telah memberikan hal tersebut kepadaku.

Kamu juga menemaniku saat aku terjatuh sangat dalam, saat aku mengetahui bahwa Mami tidak memiliki harapan lagi. Kamu sudah terlalu sering melihat diriku menangis. Kamu mendengarkan setiap ceritaku tentang perkembangan Mami. Kamu sering menjenguk Mami, menemaniku di rumah sakit, menemaniku mengurus segala hal yang kamu mungkin tidak mengerti. Terima kasih atas segala waktu dan kehadiran yang telah kau berikan padaku.

Semua hal yang kau berikan padaku waktu itu begitu berarti dan aku tahu betapa sayangnya dirimu padaku. Tepat 4 hari sebelum Mami pergi, kondisi Mami sudah tidak jelas, tidak pasti. Namun, hari itu hari yang penting. Sepulang kuliah aku segera membeli cake dan lilin lalu kubawa ke kampusmu. Kejutan yang mungkin kecil, tapi bagiku itu penting, karena kamu orang yang kusayang, yang kutahu paling dekat dan menyayangiku saat itu.

Tiba hari itu. Satu-satunya orang yang telah hidup bersama-sama denganku selama hampir 19 tahun akhirnya meninggalkan diriku. Semua orang sibuk. Papi ditemani saudara-saudaranya. Cece ditemani sahabat-sahabatnya. Teman-temanku di kampus ternyata juga banyak yang datang, begitu pula teman-teman lamaku sewaktu sekolah. Aku senang, mereka jauh-jauh datang menghiburku dan memberi penghormatan terakhir pada orang yang telah melahirkan dan membesarkanku di dunia ini.

Kamu juga datang saat itu. Hari kedua kamu datang, aku begitu lega saat kamu datang. Kamu telah mengenal dekat Mami. Kamu datang bersama sahabat-sahabatku saat SMA. Hari ketiga, adalah hari yang penting, penutupan peti dan penghormatan terakhir sebelum dikremasi. Ini peristiwa yang paling berat di antara 3 hari rangkaian upacara. Teman-temanku yang masih berusia 19 tahun itu, sudah datang kemarin, jadi mereka tidak datang lagi hari ini-yang mana adalah hari Minggu, hari keluarga-. Aku butuh seseorang. Kucari dirimu. Kamu bilang kamu akan datang. Tapi kamu belum muncul. Di pertengahan upacara akhirnya kamu datang bersama kedua orangtuamu. Setelah upacara selesai akhirnya aku bisa bertemu dirimu lagi. Aku menangis sangat sesenggukan hari itu, hari yang begitu berat. Mamamu memeluk diriku. Aku masih terus menangis. Aku ingin memeluk dirimu. Mengapa kau tak kunjung memeluk diriku? Kamu hanya memandangku dalam jarak kira-kira 2 meter.

Acara berlanjut ke kremasi peti, saat rupa Mami tidak lagi ada. Cece menangis parah saat itu, tapi aku diam.

Usai kremasi, Cece ditenangkan oleh teman-temannya. Aku mencari dirimu. Tapi..kamu tidak dapat kutemukan..ku lihat handphone, kamu harus segera pulang karena depresi Mama kambuh. Aku mengerti.. Tapi satu hal yang paling kusesali darimu adalah mengapa kamu tidak memelukku saat aku begitu terpukul. Sampai saat ini itu adalah kesalahan terbesar dirimu yang entah kenapa tidak dapat kulupakan. Tentu bukan tipikal diriku untuk mengingat kesalahan orang. Aku duduk saja sendiri di seberang ruang, termenung, berharap dirimu di sampingku menemaniku melewati waktu yang rasanya begitu lambat.

Waktu berlalu. Untuk pertama kalinya usiaku genap bertambah tanpa disaksikan Mami. Sedih. Tahun lalu begitu meriah, ada Mami, Cece, dan kamu. Kita makan bersama di suatu restoran Italia yang unik. Tahun ini hanya aku dan Cece. Aku tidak tahu di mana dirimu. Tidak ada kejutan darimu seperti tahun lalu. Bungkusan kertas kado pun tidak aku dapat darimu kali ini. Hadiah terakhir darimu genap setahun yang lalu. Kado natalku pun tidak kau balas, meski aku sangat antusias menunggunya darimu.

Kondisi keuangan keluargaku memburuk. Semua terkuras pada pengobatan Mami kemarin. Aku tidak lagi mendapat uang jajan. Cece mengharuskan diriku mencari penghasilan sendiri. Aku pun berjuang, tabunganku yang telah lama kukumpulkan kian menipis, sampai akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Aku menjadi pelit waktu dan tenaga. Aku masih ingin mengembangkan diriku sebelum aku sibuk dengan pekerjaan. Aku juga ingin meningkatkan nilai akademik setelah kemarin turun drastis karena peristiwa Mami. Waktu dan tenaga menjadi sangat tipis dan aku kesulitan membaginya dengan dirimu. Ya, dengan dirimu di sana. Seringkali kita hanya dapat bertemu bila aku mampir ke rumahmu-yang letaknya jauh dari daerahku. Mungkin kita bisa bertemu lebih sering bila kamu yang mampir ke daerahku.

Tidak lama kemudian aku mulai merasa lelah. Aku lelah karena aku berjuang terlalu banyak. Aku lelah kita hanya sering bertemu di rumahmu. Aku lelah karena di tengah kesempatanku mengembangkan diri dan mencari uang, tidak ada yang memperhatikan diriku. Aku teringat kesalahan terbesarmu tidak memeluk diriku dan tidak hadir saat aku membutuhkanmu. Aku kecewa saat momen penting bagiku tidak kau hargai. Aku mulai mencari kekurangan hubungan kita yang selama ini tidak terlihat olehku. Aku merasa kita tidak berkembang bersama dan datar. Aku merasa kamu kurang menghargai diriku.

Aku tidak tahu apakah memang kamu yang berubah atau memang sifat alamiah dirimu yang demikian. Yang pasti, semua ini terbatas oleh kondisi, waktu dan tempat. Waktu yang kumiliki kini tidak lagi banyak, mungkin juga dirimu. Tempat di antara kita juga tidak dekat lagi seperti dulu. Kondisiku pun kini sedang sulit dan aku masih lebih mencintai diriku sendiri, aku ingin berkembang dan mengolah segala hal yang ada pada diriku. Hatiku padamu pun berkurang perlahan.

Aku jujur padamu, kuceritakan semua itu. Kukatakan hubungan kita cukup saja tapi saat itu kamu tidak mau. Kamu bilang kamu masih menyayangiku dan memang seperti itulah caramu menyayangiku, hanya saja aku tidak mampu melihat dan menyadarinya, seperti aku belum mengenal dirimu, dan cara cuekmu dalam menyayangiku. Mungkin dulu caramu tidak masalah bagiku, tapi dengan segala situasi yang berbeda, caramu kini tidak lagi sesuai dengan diriku.

Kemarin kamu datang. Kamu memberi kejutan seusai aku kuliah. Kamu meminta bantuan beberapa temanku di kampus. Aku sangat terkejut. Kamu memberikan video buatanmu. Kamu muncul tiba-tiba, memeluk diriku dari belakang dan memberikan aku mawar merah segar. Aku tidak dapat berkata-kata. Aku tidak tahu harus senang atau kecewa. Video dan mawar merah darimu memang pernah kuharapkan darimu. Tapi baru kudapatkan saat aku sudah berhenti berharap. Kejutan dan segala jerih payahmu pernah kuharapkan dulu. Tapi baru kudapatkan saat hatiku padamu sudah tidak sepenuh dulu. Bagiku semuanya terlambat. Aku tahu butuh usaha keras darimu membuat video itu, dan hal-hal lainnya, sampai padaku kemarin. Sayang itu semua tidak dapat mengembalikan hatiku padamu seperti sedia kala. Aku hanya dapat berterimakasih atas usaha yang telah kaulakukan. Menurutku kamu sukses membuatku terkejut.

Ternyata kamu juga datang untuk memastikan kelanjutan hubungan kita. Aku berpikir lama, penuh bimbang dan pertimbangan yang banyak dan tak kunjung usai. Kamu terus mengungkit kenangan berarti yang telah kita lalui bersama. Namun hati sudah berkata lain, dengan beratpun aku memilih untuk menyudahi hubungan kita. Aku sedih, kamu sedih. Aku menangis banyak hingga kurasa kepala dan leherku sakit. Aku memang masih ada hati terhadap kamu, tapi tidak lagi sepenuh dulu. Bila hubungan dilanjutkan tentu akan serasa dipaksa, ini akan lebih menyakitkan. Jadi kita mengakhiri ini semua dengan masih memiliki rasa satu sama lain, ini juga menyakitkan.

Meskipun begitu, aku cukup yakin dengan keputusanku ini karena beberapa teman dan orang dekatku mendukung keputusanku. Katanya, aku berhak bahagia, aku sebaiknya membahagiakan diriku sendiri baru bisa membahagiakan orang lain.
Kamu, sadar tidak, sebelumnya aku pernah menulis hal tentang hubungan kita. Aku menulis pada tanggal 2 Januari 2014 di sini.

Begitulah hubungan kita berakhir. Semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dari diriku, sayangilah dia dengan sepenuh hatimu, setotal mungkin, seakan tidak ada hari esok.

_Always love somebody as there’s no tomorrow.