Halo, kembali lagi dengan saya yang selalu haus akan kasih sayang. Kasihan, ya. Aku menulis ini cuma sebagai pelampiasan aku saja, berharap suatu saat ada yang baca ini dan kuharap pembaca mengerti perasaan aku.
Menurutku dunia ini begitu menyedihkan. Sungguh, tumbuh di keluarga yang broken home membuat jiwaku tidak sehat. Aku yang usianya hampir seperempat abad ini masih sering menangis sendirian di kamar, berharap ada yang memeluk aku, menepuk-nepuk punggungku, menghiburku, menyemangati aku. Aku sampai di titik di mana aku agak kesulitan untuk menghibur diriku sendiri. Aku sungguh-sungguh hanya bisa bersedekap, membelai diriku sendiri, memeluk guling di ujung tembok. Tadinya aku hampir memukulkan kepalaku ke tembok (karena kupikir aku bodoh, maklum habis dimarahi karena bodoh), tapi aku merasa kasihan dengan kepalaku, ia sudah bekerja terlalu keras, ia tidak bersalah, aku harus menyayangi diriku sendiri, karena tidak ada lagi yang menyayangiku selain diriku sendiri. Semua senyuman dan kegembiraan yang terlihat di luar hanya topeng belaka, sebab untuk apa selalu menunjukkan kesedihan dan kesendirianku bukan? Toh, tidak ada yang peduli.
Mungkin aku memiliki trauma masa lalu, aku tidak tahu, tapi mungkin aku tahu. Aku tidak bisa mengharapkan kasih sayang dari siapapun. Tidak ayahku, dia tempramental, bertanya petunjuk arah saja dijawab dengan nada tinggi. - Dia hanya mempertanyakan kapan aku akan menikah, kapan dia akan menimang cucu. Ya, Tuhan, aku tidak tahu! - Tidak ibuku, dia sudah tiada, ya Tuhan sedih sekali, aku menangis kembali. Tidak kakakku, dia saja pergi meninggalkan aku di saat aku terpuruk semasa sekolah dan kuliah. Aku merasa tidak memiliki keluarga, tidak punya siapa-siapa. Kakek nenek sudah lama meninggal, aku tidak mengenal mereka. Om tante tinggal jauh dan sama sekali tidak ada kedekatan emosional denganku. Tidak juga sepupu, mereka semua sudah memiliki anak yang hampir seusia denganku. Semua ini terjadi karena aku lahir saat ayah dan ibu berusia 43 tahun. Dengan demikian aku menjadi yang jauh lebih muda di antara semua saudara sepantaran.
Mungkin tidak juga mengharapkan kasih sayang dari sahabat-sahabatku, mereka masing-masing sudah memiliki kesibukan dan zona keluarga yang nyaman serta bahagia. Mereka lebih nyaman untuk berkumpul bersama keluarga masing-masing daripada berkumpul bersamaku. Betapa beruntungnya mereka memiliki keluarga yang ramai dan hangat.
Satu yang mengejutkan, mungkin, sepertinya aku tidak dapat mengharapkan kasih sayang dari pacarku. Sepertinya dia juga tempramental. Apakah karena dia ada riwayat hipertensi? (Tapi aku pernah membaca tidak semua orang hipertensi menjadi tempramental, tergantung dari kecerdasan dalam pengelolaan emosi pribadi itu sendiri.) Belakangan ini aku banyak menangis karena sumber pengharapanku akan cinta kasih ini tidak seperti yang kuharapkan. Aku berharap komunikasi yang lancar setiap saat, penuh kasih, tekun, dan sabar. Tapi dia tidak begitu sabar terhadapku. Katanya kasih itu sabar. Aku jadi tidak yakin apakah dia benar-benar mengasihiku. Dia sendiri berkata bahwa kunci dari hubungan adalah komunikasi, tapi dia sendiri memutuskan untuk menunda komunikasi itu sendiri atau bahkan mengacaukan komunikasi itu dengan menghambat atau bertindak tidak sabar. Apakah ada yang salah dengan komunikasi via telepon? Mengapa harus menunda percakapan jika bisa dilakukan dengan telepon yang sudah canggih di era digital ini? Mengapa meluangkan waktu untuk menelponku begitu sulit? Apakah dia membenci suaraku? Mengapa meluangkan waktu untuk pesan singkat intensif juga sulit? Apakah aku tidak berharga atas waktumu? Di jaman komunikasi yang mudah ini mengapa dipersulit? Kalau dirunut permasalahan ku dengan dia sedari dulu selalu saja berkutat di komunikasi. Oh, sungguh ini berbahaya. Kunci mulai hilang, pintu menjadi sulit dibuka.
Dia tahu aku senang jika ditelepon olehnya. Tapi dia jarang melakukan itu. Ya, Tuhan, aku tidak minta macam-macam, hanya ditelepon saja aku sudah senang, karena aku bisa mengobrol dan membicarakan hariku padanya. Apakah begitu sulit untuk menelponku? Pernah suatu saat dia tiba-tiba menelponku di tengah hariku yang cukup suntuk, aku sungguh senang. Tapi ternyata dia menelpon hanya untuk koordinasi metode pembayaran promo. Setelah selesai, dia langsung mengakhiri telepon. Yah, sedih sekali ya. Aku kecewa karena berharap telepon yang menyenangkan darinya. Apakah aku salah mengharapkan itu? Apakah aku tidak boleh berharap agar aku tidak kecewa? Tapi apakah arti cinta tanpa harapan di dalamnya? Tidak ada harapan maka tidak ada cinta. Itu adalah kesatuan yang tidak terpisahkan. Apakah mungkin kau mengharapkan telepon dari orang yang tidak kau cintai? Tentu tidak, kan. Atau..haruskah aku mengharapkan telepon dari pria lain?
Hari ini dia menelponku karena ada keperluan untuk membicarakan tentang suatu ilmu keuangan. Aku senang dia memulai inisiatif untuk menelpon ini. Rasanya tidak mungkin jika aku yang terus menerus menelponnya, aku seperti pengganggu saja jika selalu aku yang menelponnya. Sebagai perempuan tentu sudah secara alami senang didekati, bukan sebagai pihak yang mendekati. Oh, kembali ke telepon hari ini, kukira telepon hari ini akan memperbaiki beberapa hal yang kemarin terjadi (kemarin kami juga bertengkar karena masalah komunikasi). Dia menjelaskan kepadaku tentang ilmu keuangan tersebut, agak berjarak antara informasi satu dengan lainnya, sehingga banyak pertanyaan yang kuajukan, yang membuat dia menjadi agak gusar. Di akhir telepon dia seperti agak jengkel, karena ada pertanyaan yang kuulang, padahal aku sudah mengerti, hanya saja banyak bertanya. Aku menjadi sedih, apakah aku sebodoh itu? (Ini yang membuat aku ingin memukulkan kepalaku ke tembok tadi.) Mengapa tidak ada kasih sama sekali dalam proses dia menjelaskan ilmu keuangan tersebut? Apakah dia benar-benar mengasihiku? Sungguh aku takut jika aku menikahi orang yang salah dalam kehidupan agama katolik ini. Bagaimana nanti jika dia harus mengajari sang buah hati? Apakah akan seperti itu juga, marah-marah? Aku takut.
Hari ini dia menelponku karena ada keperluan untuk membicarakan tentang suatu ilmu keuangan. Aku senang dia memulai inisiatif untuk menelpon ini. Rasanya tidak mungkin jika aku yang terus menerus menelponnya, aku seperti pengganggu saja jika selalu aku yang menelponnya. Sebagai perempuan tentu sudah secara alami senang didekati, bukan sebagai pihak yang mendekati. Oh, kembali ke telepon hari ini, kukira telepon hari ini akan memperbaiki beberapa hal yang kemarin terjadi (kemarin kami juga bertengkar karena masalah komunikasi). Dia menjelaskan kepadaku tentang ilmu keuangan tersebut, agak berjarak antara informasi satu dengan lainnya, sehingga banyak pertanyaan yang kuajukan, yang membuat dia menjadi agak gusar. Di akhir telepon dia seperti agak jengkel, karena ada pertanyaan yang kuulang, padahal aku sudah mengerti, hanya saja banyak bertanya. Aku menjadi sedih, apakah aku sebodoh itu? (Ini yang membuat aku ingin memukulkan kepalaku ke tembok tadi.) Mengapa tidak ada kasih sama sekali dalam proses dia menjelaskan ilmu keuangan tersebut? Apakah dia benar-benar mengasihiku? Sungguh aku takut jika aku menikahi orang yang salah dalam kehidupan agama katolik ini. Bagaimana nanti jika dia harus mengajari sang buah hati? Apakah akan seperti itu juga, marah-marah? Aku takut.
Sesaat kemudian setelah menutup telepon, tangisku pecah. Mungkin sekitar 5-10 menit aku menangis sesenggukan, meringkuk di kasur. Semua memori burukku muncul kembali. Harapanku - bahwa ada orang yang mencintaiku dengan tulus - jatuh ke dasar jurang. Aku seperti dihempaskan. Orang yang kukasihi dan kuharapkan ternyata tidak begitu mengasihiku. Kepada siapa lagi aku dapat mengharapkan kasih? Aku tidak tahu. Mengapa kehidupan ini penuh kesendirian?
No comments:
Post a Comment